Pages

Merekalah Berlian Terindahku



Tanpa mereka, aku takkan berupa…
Tanpa mereka, aku bukan siapa-siapa…
Aku tahu hal itu memang benar adanya karena aku terlibat langsung di rangkaian alurnya. Mereka itu… kecil namun kukuh, sederhana namun kaya warna juga abstrak namun berkarakter. Itulah mereka… Keluargaku!
Kami berlima, ada bapak, ibu, kakak, aku dan adikku. Mereka setia adanya menemani guguran waktuku. Mulai dari fajar menyingsing hingga gelap menyelimuti waktu. Aku ingat sekali tujuh tahun yang lalu, ketika jemariku belum sanggup menari-nari di keyboard laptop, masih setia ku bermain bersama dengan adikku. Sederhana namun sangat menyenangkan. Yap, mulai dari main engklek sampai main boneka murahan. Kami tersenyum bahagia, tak ada beban menyelimuti benak kami. Tetapi untuk saat ini, tatkala usia kami beranjak mekar, kami berdua seakan terpisah oleh sebuah tembok besar. Aku dan adikku semakin sibuk dengan urusan masing-masing.
Itu masih seputar adikku. Lebih menyakitkan lagi yang terjadi pada kakak perempuanku. Kata orang, punya kakak cewek itu menyenangkan. Bisa di ajak mix n match baju, sharing pikiran, juga asyik di buat curhat. Yah, itu memang benar. Tapi itu dahulu, saat kakakku masih berstatus pelajar SMA. Aku sangat menikmati kebersamaanku dan dia. Ketika menjahili adik, berselisih pendapat tentang model baju, jalan-jalan weekend, serta saat aku menolongnya mengerjakan pekerjaan rumahnya. Tetapi apa yang terjadi setelah dia menamatkan pendidikannya di SMA? Dia berubah. Semenjak ada seseorang yang selalu melarangnya ini-itu, harus ini-itu, blablabla… waktuku bersamanya terampas begitu saja. Padahal ketika dia menangis dan terluka, aku selalu berusaha meyakinkan dia bahwa seseorang itu tidak pantas untuknya. Tapi dia selalu berkilah dan membelanya. Betapa hancur hatiku, kau tahu? Karena itu aku benci pacaran! Hal itu hanya bisa membuat hati terluka, teraniaya dan tak berdaya.
Bapakku seorang pekerja keras. Dia berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga lewat cucuran keringatnya. Bapak bekerja di luar kota dan hanya pulang ke rumah pada hari libur, yakni sabtu dan minggu. Jelas sebagai seorang anak aku rindu kasih sayang seorang bapak. Tapi mau bagaimana lagi? Kenyataan mengharuskan seperti ini. Untungnya aku masih memiliki figur ibu seperti ibuku. Ibu yang selalu  mengusapkan jemarinya lembut ketika aku merintih dalam dekapannya. Ibu yang dengan ikhlas bangun sebelum ayam berkokok dan dengan sigapnya melakukan rentetan aktifitas rumah sampai siang hari. Tak dihiraukannya rasa lelah menggelayuti pikirannya. Ibu melakukan segalanya untuk ketiga buah hatinya. Meski seorang diri harus mengurus kami—Bapak jarang di rumah—ibu tak pernah mengeluh.

Mereka ada dengan karakternya masing-masing. Meski aku sedikit kecewa dengan perubahan-perubahan mereka, tetapi mereka tetap ada di hatiku. Mereka berlian terindah yang ku miliki. Aku akan selalu menjaga mereka, agar tetap utuh, kukuh, dan berkilau hingga hembusan nafasku tiada. (Jum’at, 25 Februari 2011, Pukul 21.53 WIB)

0 komentar:

Posting Komentar